Kamis, 17 Juni 2010

Sistem Hukum Pemberantasan Narkoba

Bagus Ali Mashar Dwiyanto @ 19.15
NARKOBA, merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi semua lapisan masyarakat di negeri ini. Apalagi genderang perang terhadap narkoba terus menerus dilakukan, baik oleh BNN (Badan Narkotika Nasional), BNP dan BNK, maupun kepolisian, LSM dan di sekolah-sekolah. Gema tentang bahaya narkoba, kesaksian beberapa pecandu narkoba, sanksi pidana mati bagi terpidana narkoba terus dilakukan melalui sosialisasi, penyuluhan, seminar, pemberitaan di media massa dan elektronik.
Namun apakah kriminalitas obat-obatan terlarang tersebut semakin berkurang? Jawabannya belum. Apakah ini menunjukkan bahwa undangan-undangan yang ada belum efektif? Jawabannya bisa saja benar, namun faktor tersebut hanyalah menjadi salah satu faktor penyebab lemahnya upaya penanggulangan kejahatan, karena dalam kebijakan kriminal (criminal policy), sebagai upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan perlu digunakan pendekatan integral, yaitu perpaduan antara sarana penal dan non penal. Sarana penal adalah hukum pidana. Sementara non penal adalah sarana non hukum pidana, yang dapat berupa kebijakan ekonami, sosial, budaya, agama, pendidikan, teknologi, dan lain-lain. Jadi sangatlah sulit untuk mengharapkan pendekatan hukum pidana saja, sehingga pendekatan non penal harus lebih dimaksimalkan, karena sifatnya preventif dan akan efektif.Menurut M.Friedman dalam usaha modernisasi hukum, maka perlu dibedakan unsur sistem hukum itu dalam tiga hal yang dapat menunjang penegakan hukum, yaitu substansi, struktur dan kultur. Berkaitan dengan peenegakan hukum terhadap tindak pidana narkoba, maka 3 sub sistem hukum tersebut perlu dilihat kembali, apakah ketiganya sudah berjalan maksimal dan terintegrasi. Substansi hukum merupakan semua bentuk peraturan perundang-undangan. Struktur hukum berkaitan dengan organisasi dan kinerja aparat penegak hukum. Sementara kultur hukum adalah sejauh mana budaya hukum telah terbangun dan menjadi benteng dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan.Pertama, substansi hukum. Pada dasarnya kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan narkoba di Indonesia sudah sejak lama dilakukan. Diawali dengan berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Stbl.1927 No.278 jo. No.536). Ordonansi ini kemudian diganti dengan UU No. 9 Tahun 1976 tentang narkotika. Selanjutnya undang-undang ini diganti menjadi UU No.22 Tahun 1997 tentang narkotika. Tidak hanya tentang narkotika saja yang dikriminalisasi, namun dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan obat/zat psikotropika, dikeluarkan UU No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Kedua Undang-undang tersebut keluar setelah adanya UU No. 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971 dan UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988.Pada sub sistem substasi ini, ada beberapa kelemahan. Dalam UU No 5 Tahun 1997 misalnya, tidak menegaskan kualifikasi tindak pidana sebagai kejahatan atau pelanggaran, padahal ada tindak pidana dengan ancaman pidana ringan, yaitu kurungan. Dengan sistem hukum saat ini, hendaknya ditegaskan kualifikasi yuridis, karena dikhawatirkan akan menimbulkan masalah yuridis. Kemudian adanya perumusan sanksi pidana dengan sistem minimal khusus merupakan suatu kemajuan. Namun masalahnya dalam undang-undang tersebut tidak diatur sistem pemidanaan untuk menerapkan sistem minimal khusus tersebut. Sementara dalam KUHP menganut sistem maksimal. Jadi, apabila membuat aturan khusus yang keluar dari ketentuan umum dari KUHP harus pula membuat pedoman untuk dapat menjalankan ketentuan khusus tersebut. Kemudian berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi, kedua undang-undang tersebut juga mengaturnya. Sebagaimana diketahui bahwa, tindak pidana narkotika maupun psikotropika tidak hanya oleh orang per orang secara sendiri-sendiri, namun orang per orang ini berada dalam sebuah sindikat kejahatan atau organized crime. Namun sayangnya, kedua undang-undang tersebut hanya mengatur tentang siapa yang dipertanggungjawabkan, sementara ketentuan mengenai kapan atau dalam hal bagaimana korporasi dikatakan telah melakukan tindak pidana dan kapan korporasi dapat dipertanggungjawabkan, tidak diatur.Kedua, struktur hukum. Upaya pemberantasan narkoba oleh aparat penegak hukum sebenarnya telah dilakukan dengan baik. Apalagi ada beberapa kewenangan yang diberi dalam kedua undang-undang tersebut, seperti wewenang untuk membuka dan memeriksa setiap barang kiriman yang diduga keras mempunyai hubungan dengan tindak pidana narkotika. Kemudian ada pula kewenangan melakukan penyadapan telepon/alat komunikasi lainnya. Namun adanya oknum aparat penegak hukum yang justru menjadi pelaku dan tidak transparannya pemusnahan barang bukti, menjadi faktor yang menghambat upaya pemberantasan narkoba (lihat Bangka Pos, Minggu 13 Juli 2008)Ketiga, kultur atau budaya hukum. Dua sub sistem sebelumnya, yaitu substansi dan struktur, lebih berorientasi pada pendekatan hukum pidana. Sementara sub sistem budaya hukum lebih menekankan pada pendekatan di luar hukum pidana (non penal). Dengan pendekatan ekonomi misalnya, maka lapangan pekerjaan harus terus diperluas dengan penyerapan di semua strata pendidikan dan keahlian. Walaupun tidak seluruhnya, kita sering mendengar pengakuan dari para tersangka bahwa mereka menjual atau menjadi pengedar karena himpitan kebutuhan ekonomi yang semakin sulit terjangkau. Kemudian pendekatan sosial, di mana masyarakat kita, khususnya di kota-kota besar yang menjadi market dari peredaran narkoba, mulai dari oknum pejabat, eksekutif muda, mahasiswa sampai dengan kalangan pelajar, salah satunya disebabkan semakin lemahnya sistem kontrol sosial, baik di lingkungan masyarakat, lingkungan kerja, kampus, sekolah dan keluarga itu sendiri. Dominasi sikap individualisme dan materialisme membuat oarng menjadi “cuek” dengan apa yang terjadi di sekitarnya, “cuek” dengan rekan kerja, teman, bahkan sesama anggota keluarga. Sementara pendekatan budaya, dilakukan dengan menumbuhkan terus kesadaran hukum, baik masyarakat, pemerintah, pembuat undang-undang maupun aparat penegak hukum. Terakhir, pendekatan agama dan pendidikan, merupakan pondasi yang cukup kuat dalam upaya preventif penyalahgunaan narkoba. Peran tokoh agama, tokoh masyarakat dan kalangan pendidik sangatlah penting dalam rangka menjaga generasi muda dari barang-barang haram yang akan merusak masa depan mereka, yang berarti juga merusak masa depan bangsa ini.


Sumber:http://cetak.bangkapos.com/

No Response to "Sistem Hukum Pemberantasan Narkoba"

Posting Komentar